Sumenep||mitrapolisi – Gelaran Festival Tong-Tong yang diselenggarakan Dinas Kebudayaan, Pemuda, Olahraga dan Pariwisata (Disbudporapar) Kabupaten Sumenep tahun ini justru menyisakan kecemasan dan kecaman tajam dari masyarakat. Pagar besi pembatas yang dipasang sepanjang jalan utama lokasi acara diduga menjadi penyebab matinya aktivitas ekonomi para pedagang dan pelaku UMKM di sekitar area festival.
Sejumlah toko dan warung yang berada di dalam kawasan pagar dilaporkan tidak bisa beroperasi karena akses jalan ditutup total. Kondisi ini memicu kemarahan warga yang menilai pihak penyelenggara tidak profesional dan terkesan zalim terhadap pelaku ekonomi lokal.
Salah seorang warga Sumenep yang videonya viral di TikTok menyampaikan keluhannya dengan nada lantang:
“Festival seperti ini mestinya menggairahkan ekonomi rakyat. Tapi kenyataannya, pagar besi dipasang tinggi seperti penjara. Kami pemilik usaha justru kehilangan nafkah. Ini bukan festival kebudayaan, tapi festival pembatasan!”
Aktivis pemerhati kebijakan publik Sumenep, Ahmad Amin Rifa’ie, menilai festival ini mencerminkan buruknya manajemen dan minimnya keberpihakan terhadap masyarakat kecil.
Menurutnya, langkah pemasangan pagar besi tidak hanya menghambat akses ekonomi, tetapi juga menunjukkan bahwa OPD terkait lebih mementingkan pencitraan daripada kesejahteraan rakyat.
“Festival Tong-Tong ini dibiayai APBD. Artinya menggunakan uang rakyat. Tapi justru rakyat dikorbankan. Pagar besi itu simbol bahwa pemerintah sedang memenjarakan ekonomi warga demi glamornya acara. Ini preseden buruk dan harus dievaluasi total,” tegas Amin.
Sejumlah warga mempertanyakan mengapa festival budaya yang seharusnya menonjolkan kearifan lokal malah menghadirkan sistem pembatasan ekstrem. Mereka menilai Disbudporapar gagal dalam merancang konsep yang inklusif dan partisipatif.
“Kalau memang festival rakyat, mengapa rakyat dikurung? Kenapa tidak ada jalur khusus untuk pedagang lokal?” ucap warga lain dalam video yang juga viral.
Aktivis dan warga mendesak agar Bupati Sumenep segera turun tangan dan mengevaluasi pelaksanaan festival ini. Mereka juga meminta Inspektorat dan DPRD melakukan audit terhadap penggunaan anggaran dan kebijakan teknis lapangan yang dianggap merugikan masyarakat.
“Jangan sampai kebudayaan dijadikan kedok untuk proyek seremonial. Festival harus menghidupkan ekonomi rakyat, bukan mematikannya,” pungkas Ahmad Amin Rifa’ie.
Penulis: Redaksi