Sumenep||mitrapolisi– Pelaksanaan Festival Garam 2025 di Kabupaten Sumenep menuai sorotan tajam. Sejumlah aktivis dan tokoh masyarakat menilai kegiatan yang seharusnya menjadi ajang promosi produk garam lokal itu justru terkesan seremonial belaka, tanpa memberikan manfaat nyata bagi para petani garam.
Dalam percakapan grup WhatsApp yang beredar, kritik muncul karena festival lebih banyak menampilkan hiburan tari-tarian dan acara seremonial, sementara produk garam lokal maupun hasil olahan industri tidak tampak.
“Festival garam, mana hasil garam yang dipamerkan? Produk lokal atau pabrik produksi garam tidak ada. Yang ada cuma foto-foto dan tarian. Ini seremonial belaka. Kenapa tidak dibuat pesta rakyat petani garam?” tulis salah satu aktivis bernama Advocat Irul.
Nada serupa disampaikan akun bernama PERS Bambang seputar Jatim yang menyebut acara itu hanya sebatas hura-hura. “Ini bagian dari hura-hura karena tidak ada manfaatnya, khususnya kepada petani buje (garam). Kasihan bupati kita hanya dijadikan bahan sorotan,” tulisnya.
Bahkan, ada pula yang menuding festival itu hanya dijadikan alasan pencairan anggaran. “Cair bagi kalangan ‘tikus kantor’, desa hanya diberi tambak untuk dikelola. Festivalnya sendiri tidak menyentuh nasib petani,” sindir salah satu aktivis.
Tak hanya soal substansi, pertunjukan seni dalam festival juga menuai kontroversi. Sebuah tarian dengan lirik yang menyebut istilah “cangkolang” dan “jenggel” dianggap menyinggung kelompok petani tertentu. “Tidak sopan, tak beretika. Alias korang ajer,” protes Pers Bang Fery Pinggir Papas.
Aktivis Sumenep, Ahmad Amin Rifa’i, menilai festival ini semakin menunjukkan lemahnya komunikasi pemerintah dengan masyarakat, khususnya warga Desa Pinggirpapas yang memiliki jejak sejarah panjang terkait tradisi garam.
“Saya kaget ketika festival garam malah dikaitkan dengan jejak peradaban leluhur, tetapi tidak melibatkan masyarakat yang paham sejarahnya. Akhirnya muncul interpretasi salah dalam teatrikal yang ditampilkan. Disparbud seakan mengulang kesalahan yang sama, kurang komunikasi dan koordinasi,” ujar Ahmad Amin Rifa’i.
Menurutnya, sejarah adat Pinggirpapas memang tidak tertulis secara formal, tetapi diwariskan turun-temurun sebagai pitutur sakral.
Rangkaian kritik ini mempertegas kekecewaan publik terhadap Festival Garam Sumenep 2025. Alih-alih meningkatkan harga garam dan menyejahterakan petani, festival justru dinilai hanya sebatas acara seremonial yang mengabaikan kepentingan utama masyarakat pesisir.
“Kalau pemerintah hanya mengandalkan literasi tanpa referensi yang cukup, wajar jika masyarakat kecewa. Karena pitutur adat itu tidak sekadar simbol, tapi bagian dari peradaban yang dihormati,” imbuhnya.
Penulis: Redaksi